Friday, October 31, 2008

Dedikasi Cinta Guru Idola

Sore itu, menjelang maghrib, sampai juga aku berkunjung kembali ke rumahnya. Perjumpaan meski hanya setelah beberapa bulan berpisah ini sungguh membangkitkan kenangan indah bersama beliau. Saat-saat mengharukan yang tiada duanya. Oh, masih terbayang di benak ini betapa beliau adalah seorang yang spesial. Spesial kepribadiannya, spesial tutur katanya, spesial kelembutannya.


Guruku ini adalah seorang yang sangat unik. Beliau adalah orang yang berkarakter keras. Tapi aku lebih suka menyebutnya tegas. Namun dibalik segala ketegasannya itu, beliau adalah sebuah pribadi yang begitu lembut. Belum pernah aku bertemu dengan seseorang yang kelembutannya bisa begitu terpancar cukup dengan bertatap muka saja dengannya. Beliau adalah pribadi yang keras sekokoh batu, namun begitu lunak dan mudah meneteskan air mata layaknya cekungnya batu oleh tetes-tetesan air. Mungkin inilah yang membuat beliau begitu disayang oleh kami, para murid.

"Katakan yang benar walaupun pahit dan jangan kamu gentar cercaan orang yang mencerca."
(HR. Al Baihaqi)


Namun, tiada satu orang pun yang kutahu menyangsikan ketegasannya. Matanya bisa kemerahan disertai suara yang bergetar saat beliau sedang menyampaikan sebuah kebenaran. Beliau bukanlah penyampai kebenaran yang pilih-pilih. Beliau sampaikan itu di mimbar, di majelis-majelis kecil. Dan beliau sampaikan pula kebenaran itu di hadapan penguasa yang dzalim, ketika beliau harus mempersuarakannya di hadapan kejahiliyahan yang merongrong. Bahkan, meski itu di hadapan seorang yang lebih tinggi pangkat dan kedudukannya dari beliau. Cukuplah Allah yang menjadi saksi betapa kerasnya tentangan beliau terhadap kebatilan yang jelas ada di depan mata itu. Kemungkaran yang tidak sekedar dilafal dalam kata, namun terjadi dengan nyata dan berada pada level penguasa. Dan, insya Allah, hanya karena Allahlah beliau lakukan itu, sehingga ketika ia diuji dengan cobaan lepasnya kedudukan yang nyaman, ketika ia harus diasingkan, maka semburat keikhlasan itu tetap terpancar di matanya saat aku berkunjung sore itu.


Masya Allah…

Sore itu, masih kulihat senyuman khas dari raut wajahmu itu, saat kami menahan air mata mendengar kisahmu. Engkaulah guru teladan. Aku begitu bersyukur kepada Allah, Ia pertemukan aku denganmu, sehingga tak lagi kutemui pribadi teladan hanya dalam sebatas buku.


Kau adalah satu dari sedikit guru yang tetap istiqomah menjunjung falsafah keguruan. Menjadi guru yang patut digugu dan ditiru. Tidak dalam level lisan belaka, namun dalam amal nyata. Kau menjadi contoh pribadi yang tsiqah terhadap pertolongan Allah. Maka 'pindah tugas' tak menjadi sebuah hal yang berat bagimu. Itulah bentuk dakwahmu dalam perbuatan. Kau letakkan dunia ini di tanganmu, bukan di hatimu, layaknya kami, manusia kebanyakan, yang begitu lalai.


Maka aku menjadi kikuk dan pucat ketika engkau menanyakan kabarku, wahai Bapak Guruku tercinta. Sungguh malu kumengakui betapa aku terlalu banyak melalaikan waktuku, justru ketika aku diberikan kesempatan selangkah lebih dekat dengan cita-citaku dengan menimba ilmu dalam institusi pendidikan yang jauh dari kampung halaman. Aku masih bisa mengingat dengan jelas binar-binar harapan dalam matamu ketika engkau menyimak perjalananku mewujudkan mimpi dulu. Doa-doa pengharapan, kalimat-kalimat penyemangat dan puji-pujian kepada Allah yang senantiasa engkau ucapkan dulu itu begitu jelas terngiang bagiku. Maka teramat malu aku ketika engkau menanyakan tentang kondisiku kini, wahai Guruku.


Oh, begitu aku merasa begitu lalai melihat pengabdianmu pada jalan dakwah yang terjal ini. Sementara aku bergelimang dalam keterpurukan, engkau semakin dan semakin menanjak. Garis-garis di dahimu menunjukkan intensnya engkau memikirkan perjuangan ini, sorot matamu cukup untuk menunjukkan optimismemu, meski dengan segala cobaan dan rintangan yang menghadang. Meski kau tak lagi muda, nafasmu mulai tersengal, dan engkau semakin dekat dengan masa pensiunmu. Oh, betapa malunya aku sebagai pemuda yang semestinya telah siap melanjutkan jejakmu. Yang seharusnya lebih tak takut menyampaikan kebenaran. Yang seharusnya lebih bertenaga dan penuh semangat. Oh, betapa malunya..


"Terus menerus ada sekelompok kecil dari umatku memperjuangkan kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang berusaha menghinakan mereka sampai datang keputusan Allah dan mereka tetap dalam keadaan yang demikian itu." (Shahih, HR. Muslim)


Kami begitu kehilangan ketika institusi yang katanya terbaik ini justru membuangmu, salah satu kader utama dalam pembangunannya. Aku begitu marah, begitu jijik terasa dengan kekotoran permainan para penguasa itu terhadapmu. Tapi, kau tetap dengan senyumanmu itu. Tetap dengan keteduhanmu itu. Oh, betapa aku rindu dengan sosokmu saat ini. Ingin sekali aku pulang ke tanah kelahiran dan bersua kembali denganmu. Aku begitu rindu dengan pribadi idola sepertimu. Sungguh dengan melihatmu, menjadi rintik mata dan terpompa semangat ini.


Kini, telah masuk bulan Dzulqoidah, telah dimulai musim haji. Sungguh masih teringat dengan jelas di kepalaku, betapa basah dan berlinangnya matamu ketika engkau mengisi salah satu sesi pengajian itu. Ketika engkau membahas tentang ibadah yang satu ini, terlihat jelas kerinduanmu yang teramat besar pada panggilan itu. Terlihat jelas dengan tetes-tetes air mata itu. Oh, setiap tahun, di bulan-bulan ini, engkau akan 'terpaksa' membahas hal ini lagi dalam forum kecil anak-anak SMA itu. Pun engkau harus mengisi majelis pelepasan jamaah haji di pengajian lain. Dan setiap kali itu pula engkau akan meneteskan air mata kerinduan yang sama, melisankan getar pengharapan yang sama.

"Ya Allah, sampaikanlah beliau ke rumah-Mu. Sampaikanlah beliau untuk memenuhi panggilan suci-Mu itu. Sampaikanlah beliau ke tanah haram-Mu dalam hidupnya. Pilihlah beliau untuk menjadi tamu-Mu. Hamba mohon, rizkikanlah itu kepada beliau, ya Robb. Amin…"


Tak terasa maghrib menjelang. Mentari kembali ke peraduannya. Dan pelepas rindu itu pun harus berakhir di sana. Kini, tak dapat kusangkal, aku kembali rindu…


……

Although his genealogy attributes him to a stone [hajar],

how often tears have flowed, sweet, pure and fresh!

…..

Diwan, Ibnu Hajar Al-Asqalani


Hall 14-67-2-1390 dini hari

2 Dzulqoidah 1429 H