Monday, November 02, 2009

Sorry

Under Construction.

Thursday, October 01, 2009

Hadist of The Week #2: Musibah

أُمَّتِى هَذِهِ أُمَّةٌ مَرْحُومَةٌ لَيْسَ عَلَيْهَا عَذَابٌ فِى الآخِرَةِ عَذَابُهَا فِى الدُّنْيَا الْفِتَنُ وَالزَّلاَزِلُ وَالْقَتْلُ.

رواه أحمد وأبو داود وصححه الحاكم ووافقه الألباني

“Ummatku ini adalah ummat yang dirahmati, mereka semua tidak akan disiksa secara menyeluruh di akhirat, siksa mereka hanyalah terjadi di dunia, berupa berbagai kekacauan, gempa bumi dan pertumpahan darah yang menimpa mereka.”

(HR. Ahmad, Abu Dawud; dishahihkan oleh Al Hakim dan disetujui oleh Al Albani)

Monday, April 20, 2009

Hadist of The Week #1: Saudara

"Seorang Muslim itu adalah saudaranya orang Muslim lainnya, janganlah ia menganiaya saudaranya itu, jangan pula menyerahkannya - kepada musuh.

Barangsiapa memberikan pertolongan pada hajat saudaranya, maka Allah selalu memberikan pertolongan pada hajat orang itu.

Dan barangsiapa melapangkan kepada seseorang Muslim akan satu kesusahannya, maka Allah akan melapangkan untuknya satu kesusahan dari sekian banyak kesusahan pada hari kiamat.

Dan barangsiapa yang menutupi cela seseorang Muslim
maka Allah akan menutupi celanya pada hari kiamat." (Muttafaq 'alaih)

Sunday, April 19, 2009

Ayat of The Week #1: Kesudahan Para Pendosa

(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Dan kamu akan melihat orang-orang yang berdosa pada hari itu diikat bersama-sama dengan belenggu. (QS Ibrahim: 48-49)

Rabbana dzolamna anfusana waillam taghfirlana watarhamna lanakuunanna minal khasirin.
“Ya Allah, Tuhan kami, sungguh kami telah menganiaya diri kami sendiri. Dan apabila Engkau tidak mengampuni serta menyayangi kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi…”


Thursday, April 16, 2009

My Personal Reflection #2: Iman?

Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim, (QS Ali 'Imran: 140)

Sebuah majelis melingkar. Marine Parade.

"Apa yang ingin saya share disini sebenarnya hanyalah sebuah pertanyaan. Yang mengganggu saya belakangan ini. Mengisi pikiran saya beberapa hari ini. Dan kegiatan hari ini saya rasa cukup berhubungan. Pertanyaan saya sederhana:

"Sudah seberapa kuatkah iman kita? Ketika kita telah mempersiapkan diri dengan baik, namun di momen penentuan itu segalanya tidak berjalan mulus. Tiba-tiba kita tidak bisa melakukan tugas di hadapan. Tiba-tiba hasil yang dicapai jauh dari harapan. Sudah seberapa kuatkah iman kita, sehingga saat hal seperti itu terjadi, ketika melangkah darinya, kita masih bisa mengucapkan: Alhamdulillah?"

"Sudah seberapa kuatkah iman kita?"

Majelis melingkar yang lain. Paginya.

"Saya akan berusaha untuk mengucap Alhamdulillah, meski jika segalanya tidak berjalan lancar. Saya akan berusaha."

Hari ini.

Ternyata azzam dan kenyataan tidak selamanya sejalan. Tidak selamanya dapat sejalan. Terlalu banyak rintangan yang menghadang. Tak terhitung godaan yang menyerta. Untuk jadi hamba yang bersyukur. Berat.

Saat mengetik tulisan ini.

Memaksa: "Alhamdulillah…"

Penutup

Iman itu bukan hanya di lisan. Apalagi sekedar di hati tanpa dibagi. Perbuatan juga jangan dilupakan. Itu juga penting.

Sungguh sederhana ternyata ketika kehancuran menerpa. Ambil pelajaran. Subhanallah. Dalam dua minggu ini diingatkan terus menerus. Terus menerus.

Bersyukur ketika ternyata peringatan itu datang dari berbagai arah. Dengan bermacam cara. Bahkan dari sesuatu yang sesederhana pertanyaan. Hingga surat cinta. Dan bersyukur ketika peringatan pun ternyata selalu diawali dengan kalimat pembesar hati. Bahkan Allah yang sedemikian agungnya tidak sekalipun berbuat zalim kepada hamba-Nya. Dalam memperingatkan pun Ia sedemikian santunnya. Maka kalau manusia begitu angkuhnya dalam bertutur, apa kata dunia? Maha Besar Allah!

Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. (QS Ali 'Imran: 139)

*ditulis setelah exam yang berjalan tidak sesuai harapan. =)

Tuesday, March 31, 2009

My Personal Reflection #1: Bersikap Proporsional

"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Al-Ma'idah: 8)

Alhamdulillah robbil 'alamin wakafa..Asshalatu wassalamu 'alan nabiyyil mustofa..

Asyhadu alla ilaha illallah waasyhadu anna muhammadan 'abduhu warasuluh..Laa nabiyya ba'dah…

-o0o-


Banyak ibrah (pelajaran) yang aku ambil dalam sepenggalan umur yang insya Allah akan memasuki kepala 2 tahun ini. Berencana melakukan banyak perenungan dan perenungan untuk menyambut "mendekatnya maut" dari usia ini. Salah satu yang terasa begitu berkesan dalam satu-dua minggu belakangan adalah tentang bersikap proporsional. Bisa dibilang ini merupakan salah satu "gajah di pelupuk mata" [1] yang nampak.

Bersikap proporsional. Apakah yang dimaksud dengan proporsional?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, proporsional adalah sebuah kata sifat yang berarti sesuai dng proporsi; sebanding; seimbang; berimbang. [2] Kalau dalam istilah yang lebih "ngarab" salah satu kata yang bermakna mirip adalah tawazun, yang berarti seimbang. [3] Tapi aku tidak ingin berpanjang-panjang membahas itu. Langsung to the point kepada inti permasalahan.

-o0o-


Aku sadari, dalam sepenggalan umur ini sering sekali – tidak terhitung – saat-saat dimana aku tidak bersikap proporsional. Terutama dalam bermuamalah dengan orang lain. Mengingat ke masa lalu adalah mengingat kenangan-kenangan pahit, bagaimana kurangnya sikap proporsional menjadi sebuah masalah yang begitu masif akibatnya. Aku begitu sering bersikap egois, tidak adil, dan merasa suci sendiri ketika berhadapan dengan orang lain. Sering sekali menilai seseorang secara tidak proporsional.

Teringat akan "masa-masa kelam" saat SMA. Dulu suka banget menutup mata dan telinga terhadap seseorang hanya karena masalah yang sepele. Sebagai contoh, seorang ustadz yang sedang menyampaikan nasihat tidak akan aku gubris hanya gara-gara sedikit kain celananya melewati mata kaki. Seakan-akan isbal-nya dia itu menentukan segala gerak-geriknya. Seakan-akan segalanya menjadi salah ketika ada satu hal yang ia lakukan yang tidak berkenan bagi diri ini. Masa-masa dimana diri merasa yang paling benar, yang paling paham, yang paling beriman.

Astaghfirullah..

Contoh lain adalah ketika mendengarkan sebuah perkataan (yang baik) dari orang yang tidak aku suka. Wih, rasanya berat sekali untuk menerima. Akan bermunculan 1001 alasan dalam benak ini untuk membantah, untuk menangkis, untuk membela diri, untuk membuktikan bahwa dia salah, aku benar. Bahwa dia salah, aku benar. Masya Allah…Sedih ketika mengingat tabiat-tabit buruk ini.

Dan celakanya romantisme masa lalu ini masih saja berbekas sisa-sisanya hingga hari ini. Di saat tertentu, akan kambuh lagi penyakit yang satu ini. Saat-saat dimana dada ini membusung penuh kebanggaan, merasa diri paling sholeh dan paling baik. Saat itu bisikan syaitan pun muncul, membangkitkan tabiat lama yang buruk ini. Saat itu, sejauh mata memandang, yang nampak adalah kesalahan-kesalahan. Ketika bertemu A, yang teringat adalah kekurangannya. Ketika bertemu B, yang teringat adalah kelemahannya. Ketika bertemu C, yang teringat adalah perbedaan pendapatnya. Ketika bertemu D, yang teringat adalah sikap-sikap buruknya. Dan seketika itu, segala hal negatif tentang mereka menjadi prioritas nomor satu bagi diri ini dalam menilai segala yang terucap dari lisan mereka. Menilai segala perbuatan mereka dari kekurangan, yang ketika ditimbang-timbang kemudian, terasa begitu sepele dibanding besarnya kebaikan yang mereka lakukan.

Rasanya masih sulit bagi diri ini untuk mewujudkan wejangan dari Ali bin Abu Thalib radhiyallahu anhu:

"Unzhur maa qiila , walaa tanzhur man qoola". Cermati apa yang dikatakan , tak usah lihat siapa yang mengatakannya. [4]

Yang nampak bagi diri ini adalah siapa dia, siapa dia, dan siapa dia. Yang nampak bagi diri ini adalah jarangnya dia sholat berjamaah, alpanya dia dari membaca Al-Qur'an, busana dia yang masih "gaul ceria", jenggot dia yang selalu ia cukur setiap hari, sifat dia yang masih suka hura-hura, permisifnya dia terhadap ikhtilat, dan lain-lain, dan lain-lain. Maka ketika dia mengingatkanku tentang sesuatu yang baik, yang masuk ke telinga justru kekurangan-kekurangannya, kelemahannya, dan aku pun bersikap skeptis sambil membatin, "gak sadar diri ya, lo."

Astaghfirullah…

Begitu sulitnya diri ini untuk bersikap proporsional berujung pada perasaan paling benar sendiri. Aku akan membesarkan kelebihan diri sendiri yang tidak seberapa, dan merendahkan orang lain karena kekurangannya. Seakan-akan derajatku ada persis di bawah Nabi. Seakan-akan orang yang patut kudengarkan, yang patut kuhormati, hanyalah mereka yang sempurna di mata ini. Tak kusadari bahwa setiap orang memiliki kekurangan, setiap orang memiliki kelemahan. Tak kusadari pula bahwa apa yang di mataku nampak sebagai kekurangan, bisa jadi di hadapan Allah adalah sesuatu yang begitu mulia nilainya.

Bisa jadi apa yang selama ini kuakui sebagai suatu kebenaran absolut, ternyata hancur berkeping-keping tiada berharga ketika dihadapkan pada Allah….


Maka ketika seorang teman bertanya padaku, bagaimana kita memandang perkataan baik seseorang yang memiliki banyak kekurangan dalam hal lain, saat itu rasanya lidahku begitu tercekat. Ingin kuberkata, "dengarkan ia, jangan lihat siapa dia!", namun sulit bagiku. Begitu sulit. Bagaimana mungkin aku dapat berkata demikian, sementara Allah berfirman

"Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan." (Ash-Shaff: 2-3)

-o0o-


Karena itulah begitu besar harapanku, semakin dekatnya aku dengan akhir hidupku,

semakin proporsional aku dalam menjalani kehidupan. Semakin seimbang.

Tidak menafikan kebaikan pada diri seseorang karena keburukannya.

Tidak mendiskreditkan seseorang karena perbedaan pendapat dengannya.

Tidak merendahkan seseorang karena kekurangannya.

Menyadari sebanyak mungkin kekurangan diri.

Menatap sebanyak mungkin kelebihan orang lain.


karena tiap orang beriman tetaplah rembulan
memiliki sisi kelam,

yang tak pernah ingin ditampakkannya pada siapapun
maka cukuplah bagiku
memandang sang bulan
pada sisi cantik yang menghadap ke bumi
[5]



-o0o-


"Ya Allah jadikan aku dalam pandanganku sendiri

sebagai seburuk-buruk makhluk,

dalam pandangan manusia sebagai yang tengah-tengah,

dan dalam pandanganMu sebagai yang paling mulia.."
[6]

Wallahu musta'an…[7]

-o0o-


Referensi:

[1] http://id.wikiquote.org/wiki/Gajah_di_pelupuk_mata_tidak_terlihat,_semut_di_seberang_lautan_terlihat

[2] http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php (proporsional)

[3] http://pangerans.multiply.com/journal/item/272/Materi_Mentoring_TAWAZUN_1

[4] http://binanurani.com/?p=426

[5] http://salim-a-fillah.blog.friendster.com/2009/03/khilaf-benci-dan-cinta/

[6] http://salim-a-fillah.blog.friendster.com/2009/03/kita-prasangka-mereka/

[7] http://forums.almaghrib.org/printthread.php?t=28351